Rencanakanlah!
Senang rasanya mendengar, menyaksikan dan mengantar teman-teman yang berkesempatan pergi haji. Bagi yang sudah pernah pergi menunaikan ibadah haji, pasti terkenang keindahan dan kenikmatan ibadah di tanah suci. Alharamain Makah dan Madinah. Bagi yang belum berkesempatan berhaji, semakin menjadi-jadi keinginannya melaksanakan rukun Islam ke-5 ini.
Kalau ada muslim-muslimah yang tak punya sedikitpun keinginan berhaji, maka perlu diperiksa ada apa dengan keimanan orang ini. Biasanya setelah ditanyakan kepadanya ada 2 sebab utama. Pertama dia apatis dengan kondisi keuangannya. Kedua dia merasa belum cukup suci untuk pergi ke tanah suci. Meskipun uang ada berlimpah-limpah.
Tak terasa sebentar lagi teman-teman yang terdaftar berangkat haji tahun 2010, sudah harus belajar segala sesuatu tentang haji. Agar nanti bisa melaksanakannya dengan baik dan benar. Wow, senang sekali menjadi orang yang berkemampuan menunaikan ibadah haji ini.
BAGAIMANA AGAR BERKEMAMPUAN?
Ibadah ini termasuk ibadah kelas berat. Fisik harus siap. Hati juga demikian. Dan yang paling sering jadi pembicaraan adalah biaya. Maka wajar jika kewajiban ibadah haji itu bersyarat: “…. jika kalian mampu.”
Dari Umar bin Khottob r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Islam adalah engkau bersaksi tiada tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah, jika engkau mampu.
(HR. Muslim)
Mencermati hadist di atas, ada dua cara orang Islam menyimpulkannya:
Pertama, “karena saya belum mampu maka saya tidak wajib melaksanakan ibadah haji. Nanti kalau saya mampu maka saya dikenai kewajiban haji itu. Sekarang belum. Ada ‘rukhsyah’ untuk tidak melaksanakannya karena saya masih belum berkemampuan.”
Jika membacanya demikian, maka akan muncul permakluman-permakluman lainnya terhadap kondisi diri sendiri.
Seperti:
“Saya kan cuma buruh pabrik, mana mungkin bisa melaksanakan haji. Setiap bulan gaji pas-pasan untuk hidup, sekolah anak-anak dan lain-lain kebutuhan rumah tangga.”
Atau,
“Saya masih banyak hutang. Setiap bulan harus bayar angsuran rumah, mobil, motor, hape, tivi, panci, karpet, dan lain-lain.”
Atau lagi,
“Rumah saya sudah tua, jadi harus direnovasi, jika tidak mau lapuk oleh waktu.”
Atau pula,
“Kayaknya harus dapat rejeki nomplok nih, baru saya bisa naik haji.”
Atau,
“Pokoknya kalau dapat undian berhadiah mobil saya akan jual untuk ongkos naik haji.”
Ada juga,
“wah, mana mungkin? Saya tidak punya sawah untuk dijual bakal ONH.”
Kalau terus didengarkan makin banyak lagi alasan yang muncul, yang justru melemahkan diri. Alasan-alasan ini justru menjadikan kita sebagai orang yang tidak kunjung mampu berhaji. Padahal kalau ditanya mau nggak sih dia haji, pasti jawabannya “Mau dong, siapa yang nggak pengen?”
Pengen adalah cita-cita. Cita-cita adalah dream atau impian. Anak kecil jika ingin mainan bisa termimpi-mimpi untuk mendapatkannya. Sampai tidurnya mengigau menyebut-nyebut nama mainan itu. Ketika bangun tidur, merengek lagi kepada ayah ibunya agar dibelikan mainan itu. Mimpi adalah kunci… demikian sebaris syair lagu Laskar Pelangi.
Kalau kita pengen haji, mestinya juga demikian. Termimpi-mimpi saat tidur, lalu bekerja keras saat terbangun. Demi tercapainya cita-cita itu. Bukan sebaliknya melemahkan diri kedalam ketidakmampuan itu. Jika demikian, maka benarlah bahwa keinginannya untuk berhaji tak bakal terwujud karena dia selalu menenggelamkan dirinya dalam kelompok orang yang tak mampu. Sehingga tidak perlu pergi haji.
Itu adalah cara pertama. Bagaimana dengan cara kedua membaca hadis itu?
“Ini adalah rukun Islam, saya harus jadi orang mampu. Agar saya bisa berhaji!”
“Rukhsah bagi yang tak mampu itu, biar untuk orang lain saja. Saya harus mampu!”
“Saya harus melengkapi keislaman saya dengan melaksanakan kelima-lima rukun Islam itu, termasuk berhaji!”
Lalu ditargetkan kapan bisa naik haji. Kalau untuk rumah seharga 100 juta berani mencicil 10-15 tahun, kenapa tidak mencoba mencicil ONH?
Ayo, ambil kalkulator. Masukkan angka 70 juta untuk ongkos haji reguler suami-istri 10 tahun yang akan datang. Bagi dengan 10, maka itu berarti kita harus menabung 7 juta per tahun. Bagi lagi dengan 12. Itu berarti kita harus menyisihkan Rp. 584 ribu per bulan. Jika gaji kita 3 juta per bulan berarti dengan menyisihkan 20% setiap bulan, kita akan berkemampuan berhaji sepuluh tahun ke depan. Yaitu tahun 2020 nanti. Sambil berdoa semoga nilai rupiah tidak terdepresiasi terhadap dollar.
Kalau nilai ini dianggap terlalu besar, mari kita bikin urutan prioritas pengeluaran bulanan. Coret yang tidak perlu. Coret apa yang tidak akan membuat kita mati tanpanya. Coret apa yang justru membuat kita sakit jasmani dan rohani.
Apa yang masuk kriteria itu?
Banyak. Misalnya rokok yang merusak jasmani kita. Bioskop yang merusak kantong dan rohani kita. Jalan-jalan ke mall yang menyuburkan sifat konsumerisme dan hedonisme. Kurangi jajan, karena istri telah memasak di rumah. Kurangi jajan yang dilakukan hanya karena hobbi. Misalnya makan bakso atau duren. Jadikan makan karena butuh, bukan karena hobi apalagi nafsu. Kurangi memanjakan anak dengan jajanan tak bergizi dan menyuburkan penyakit. Yang menyebabkan biaya pengobatan membengkak dan tak dikover asuransi.
Kalau istiqomah dan terus berdoa kepada Allah niscaya Allah akan menguatkan niat kita menuju berkemampuan itu.
Ada juga cara lain mengumpulkan uang bakal ongkos naik haji:
Ikuti program PT. Arminareka. Cukup dengan membayar DP 5 juta, Anda terdaftar menjadi jamaah calon haji. Sisanya bisa dicicil tanpa batasan waktu. Atau Anda mereferensekian teman, tetangga dan saudara untuk berhaji atau umroh melalui Arminareka. Maka Anda akan mendapat penghasilan tambahan yang tak sedikit.
Berapa besarnya?
Rp 1.5 juta/satu referensi umroh dan Rp 2.5 juta /satu referensi haji. Semakin banyak Anda mengajak orang lain beribadah haji semakin dekat Anda kepada cita-cita melaksanakan haji atau umroh. Insya Allah.
Labbaikallahumma labbaik
Labbaika laa syarika laka labbbaik
Innal hamda wanni’mata
Laka walmulk
Laa syariikalak
Komentar Terbaru